Kartini menjadi salah satu sosok penting dalam emansipasi wanita di
Indonesia. Oleh karena itu lah, tanggal 21 April yang juga merupakan
hari lahir perempuan asal Jepara, Jawa Timur, tersebut diperingati
setiap tahunnya sebagai Hari Kartini untuk mengenang jasa-jasanya dalam
kesetaraan gender.
Peringatan Hari Kartini tersebut dirayakan
setelah 2 Mei 1964, usai Presiden Soekarno mengeluarkan Keputusan
Presiden Republik Indonesia No.108 Tahun 1964. Dalam keputusan tersebut,
Kartini juga ditetapkan sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional.
Raden Ajeng Kartini lahir pada tanggal 21 April 1879, dan berasal dari
kalangan bangsawan Jawa. Ia merupakan putri dari bupati Jepara bernama
Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat dengan M.A. Ngasirah.
Kakek
Kartini, Pangeran Ario Tjondronegoro IV dikenal pada pertengahan abad
ke-19 sebagai salah satu bupati pertama yang memberi pendidikan Barat
kepada anak-anaknya.
Sementara itu Sosrokartono, kakak Kartini,
merupakan orang yang pandai dalam bidang bahasa. Hingga usianya yang ke
12 tahun, ia diperbolehkan bersekolah di ELS (Europese Lagere School) di
mana Kartini belajar bahasa Belanda.
Setelahnya, ia terpaksa meninggalkan sekolah karena sudah bisa dipingit untuk kemudian menunggu calon suaminya melamar.
Semasa lajang sebagai perempuan mandiri, Kartini telah melahirkan sejumlah tulisan, seperti “Upacara Perkawinan pada Suku Koja” yang terbit di Holandsche Lelie saat berusia 14 tahun.
Selama masa pingit yang ia jalani, ia mulai belajar sendiri dan menulis surat kepada teman-teman korespondensi dari Belanda menggunakan kemampuan berbahasa Belanda yang ia miliki. Salah satu temannya adalah Rosa Abendanon yang banyak mendukungnya.
Dilansir Intersections, surat-surat yang dikirimkan menguraikan pemikiran Kartini terkait berbagai masalah termasuk tradisi feudal yang menindas, pernikahan paksa dan poligami bagi perempuan Jawa kelas atas, dan pentingnya pendidikan bagi anak perempuan.
Di sisi lain, surat-surat tersebut juga mencerminkan pengalaman hidup Kartini sebagai putri seorang bupati Jawa.
Dari buku-buku, koran, dan majalah Eropa yang dibacanya, Kartini
tertarik pada kemajuan berpikir para perempuan Eropa. Oleh sebab itu
lah, timbul keinginannya untuk memajukan perempuan pribumi yang memiliki
status sosial yang rendah salah satunya karena pendidikan yang
terbatas.
Tidak lama, Kartini dijodohkan oleh orang tuanya
dengan bupati Rembang bernama K.R.M Adipati Ario Singgih Djojo
Adhiningrat yang pernah memiliki tiga istri. Suami Kartini memberikan
izin kepadanya untuk mendirikan sekolah wanita.
Setelah pernikahannya dengan bupati Rembang, Raden Adipati Djojodiningrat, Kartini merasakan horison pemikirannya berkembang.
“Di
rumah orang tua saya dulu, saya sudah tahu banyak. Tetapi di sini, di
mana suami saya bersama saya memikirkan segala sesuatu, di mana saya
turut menghayati seluruh kehidupannya, turut menghayati pekerjaannya,
usahanya, maka saya jauh lebih banyak lagi menjadi tahu tentang hal-hal
yang mula-mula tidak saya ketahui. Bahkan tidak saya duga, bahwa hal itu
ada”, tulis Kartini kepada Nyonya Abendanon yang menjadi sahabat
penanya (Surat kepada Ny. R.M. Abendanon-Mandri, 10 Agustus 1904).
Kartini meninggal usai melahirkan anaknya, Soesalit Djojoadhiningrat, tanggal 17 September 1904 di usia 25 tahun.
Sepeninggalnya, J.H. Abendanon, yang juga merupakan Menteri Kebudayaan,
Agama, dan Kerajinan Hindia Belanda tahun 1900-1905, mengumpulkan
surat-surat yang pernah dikirimkan R.A Kartini pada teman-temannya di
Eropa.
Buku pertamanya diberi judul Door Duisternis tot Licht yang berarti Dari Kegelapan Menuju Cahaya, yang diterbitkan pada 1911.
Di tahun 1922, Balai Pustaka menerbitkan buku tersebut dalam bahasa Melayi dengan judul Habis Gelap Terbitlah Terang: Boeah Pikiran. Kemudian tahun 1938, keluarlah Habis Gelap Terbitlah Terang versi Armijn Pane, seorang sastrawan Pujangga Baru.
Sementara itu, surat-surat Kartini dalam bahasa Inggris juga pernah diterjemahkan oleh Agnes L. Symmers.
Terbitnya surat-surat Kartini sangat menarik perhatian masyarakat
Belanda. Di sisi lain, pemikiran-pemikiran Kartini juga mulai mengubah
pandangan masyarakat Belanda terhadap perempuan pribumi di Jawa. Salah
satunya adalah Van Deventer, seorang tokoh politik etis atau politik
balas budi.
Ketika surat-surat Kartini diterbitkan pada tahun
1911, Van Deventer terkesan sehingga tergerak untuk menulis sebuah
resensi untuk menyebarluaskan cita-cita Kartini. Cita-cita Kartini
tersebut ia rasa cocok dengan cita-cita Deventer sendiri yakni
mengangkat bangsa pribumi secara rohani dan ekonomis, serta
memperjuangkan emansipasi mereka.
Sesudah Van Deventer meninggal
di tahun 1915, istrinya mendirikan Yayasan Kartini untuk membuka
sekolah-sekolah bagi wanita pribumi.
Nyonya Deventer sendirilah
yang mengurus segala-galanya hingga ribuan murid puteri pun memasuki
Sekolah Kartini yang bernaung dibawah Yayasan Kartini.
Sumber : Tirto.id